Sabtu, 03 September 2016

RELASI PERS DAN MASYARAKAT


RELASI PERS DAN MASYARAKAT
·         Pers mengabdikan tugasnya untuk masyarakat atau negara?
·         Adakah jaminan kontrol masyarakat atas pers?
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 1966 tentang ketentuan pokok pers:
Pada BAB II pasal dua ayat dua disebutkan bahwa pers nasional berkewajiban :
a.       Mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen.
Disini jelas bahwa pers tidak mengabdikan tugasnya untuk Negara atau sang penguasa akan tetapi lebih ke ideologi Negara yakni pancasila dan UUD 1945. Pada poin (b) pers sangat jelas mengabdikan tugasnya untuk masyarakat.
b.      Memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat, berdasarkan Demokrasi pancasila.
Pasal tiga menyebutkan pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif. Jaminan kontrol masyarakat atas pers tidak ada, namun dijelaskan dari penjelasan pasal pers nasional terikat oleh pertanggungan jawab yang ditentukan dalam ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/ 1966.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 21 tahun 1982 tentang perubahan atas undang-undang no 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah dengan undang-undang no 4 tahun 1997
Pada UU pers tahun 1997 pers mengabdikan tugasnya untuk masyarakat hal ini tertuang pada angka lima pasal dua ayat dua dan pada UU pers ini ditambah satu ayat yang menegaskan pers menengahi antara pemerintah dan masyarakat.
b.      Memperjuangkan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat berlandaskan Demokrasi Pancasila.
Pasal dua ayat tiga “Dalam rangka meningkatkan, peranannya dalam peembangunan, pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaktif positif antara Pemerintah, pers, dan masyarakat.
Jaminan kontrol masyarakat atas pers sangat jelas pada uu pers tahun 1997 pada pasal 15 poin satu (1) hak jawab merupakaqn hak seseorang, organisasi atau badan hukum yang merasa dirugikan oleh tulisan dalam sebuah atau beberapa penerbitan pers, untuk meminta kepada penerbit pers yang bersangkutan agar penjelasan dan tanggapannya terhadap tulisan yang disiarkan atau diterbitkan, dimuat di penerbitan pers tersebut.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 1999 tentang pers
Sama seperti UU sebelumnya pers mengabdikan tugasnya untuk masyarakat yang tertulis pada pasal enam poin (a). masyarakat pun dapat mengontrol pers pada pasal 17 ayat satu  dan dua.
a.       Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
1.      Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
2.      Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat satu (1) dapat berupa:
a.       Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan tekni pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b.      Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

Regulasi Konglomerasi Media Penyiaran



HINDARI KONGLOMERASI MEDIA PENYIARAN
Perkembangan teknologi komunikasi kian canggih telah membawa perubahan peran bagi dunia jurnalistik dan informasi. Masyarakat modern menjadikan informasi sebagai salah satu kebutuhan pokoknya disamping pangan, sandang dan papan. Karenanya dunia jurnalistik berkembang pesat hingga memicu munculnya industri media massa. Di Indonesia sejak runtuhnya masa orde baru (orba) media massa mengalami perkembangan yang pesat, bagai jamur di musim hujan. Bagaimana tidak lebih dari 1.600 Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) baru dikeluarkan periode Mei 1998 sampai dengan Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP dicabut dengan disahkannya UU pers No. 40 tahun 1999. Bandingkan dengan masa orba yang hanya mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun.
Bahkan saat ini pemilik media tidak hanya memiliki satu perusahaan media saja. Hal ini jelas-jelas melanggar UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 pasal 18;
(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.
(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.
(3) Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Selain itu diatur pula pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) pada bab lima tentang pembatasan kepemilikan dan penguasaan serta kepemilikan silang. Pasal 32;
(1)          Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:
a.              1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda;
b.             paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu);
c.              paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua);
d.             paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-3 (ketiga);
e.              paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-4 (keempat) dan seterusnya;
f.              badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Dua UU ini sudah sangat jelas melarang konglomerasi media penyiaran. Tak ada multi tafsir di dalamnya. Seperti pada UU penyiaran pasal 18 Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.
Seperti kita ketahui di negeri tercinta kita ini, pemilik media tak hanya memiliki satu media saja. Transcorp yang memiliki Trans TV dan Trans7, Vivanews yang memiliki ANTV dan TVONE, MNC grup yang memiliki RCTI, MNC TV dan Global TV serta yang baru-baru ini PT EMTK memiliki SCTV, O Channel dan Indosiar.
Dengan begini frekuensi akan dikuasai oleh segelintir orang, sehingga terjadi konglomerasi pembentukan opini, dan ini berbahaya untuk demokratisasi penyiaran. Publik hanya mendapat informasi yang dari satu perusahaan saja. Meski beda saluran pemilik dari media tersebut sama. Publik harus bisa membedakan mana informasi yang benar-benar terjadi dan informasi yang dibuat untuk kepentingan media itu sendiri.
Siapakah yang disalahkan atas ini UU yang yang tidak dilaksanakan atau pemilik media yang memang sengaja memonopoli media. Saat ini masyarakat sangat membutuhkan informasi baik cetak maupun elektronik. Sehingga perkembangan media massa di Indonesia cukup pesat. Pengusaha melihat peluang bisnis yang bagus untuk mendirikan media massa. Ditambah saat ini sudah tidak diberlakukan SIUPP seperti di masa ordeba.
Kalau sudah begini publik hendaknya untuk pandai-pandai menyaring informasi yang didapat. Apakah ada unsur kepentingan pemilik media atas informasi yang didapatnya. Peran pemerintah pun sangat penting dalam melaksanakan UU.
Hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh pemilik media untuk pencitraan dirinya. Publik disuguhi informasi yang menguntungkan perorangan atau kelompok itu saja. Karenanya menjadi wajar bila kemudian muncul pendapat umum bahwa siapa yg menguasai informasi akan menjadi penguasa dimasa depan. Hal ini mungkin saja terjadi karena opini publik dibuat oleh opini media. Sehingga apa yang dianggap penting oleh media dianggap penting pula oleh publik. Mudah saja bagi media untuk memframe sebuah informasi untuk kepentingan perorangan atau kelompoknya.
Undang-Undang yang dibuat sudah jelas. Pelaksana Undang-Undang semestinya bergerak cepat dalam mengantisipasi masalah ini. Sebab saat ini tidak satu atau dua perusahaan saja yang memonopoli penyiaran. Alangkah baiknya tak ada kata terlambat untuk suatu kebaikan. Kalau dibiarkan saja hal ini tentu menguntungkan orang yang punya kendali banyak pada media. Atas informasi yang tidak seimbangpun wartawan terkena imbas dari konglomerasi media. Wartwan dianggap tidak memberitakan suatu peristiwa secara adil, seimbang dan faktual.
Beberapa lembaga yang sadar akan konglomerasi media penyiaran ini membetuk Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji materi UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 pasal 18 dan 34. Para Pemohon dalam permohonoan uji materil ini yaitu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Media Link, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan Yayasan Dua Puluh Delapan (Y28). KIDP menganggap kepemilikan lembaga penyiaran yang selama ini dimonopoli sekelompok elite pengusaha tertentu akan merugikan publik. Selain itu dinilai memunculkan potensi kerugian konstitusional yang dialami pemohon adalah terancamnya kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, berekspresi karena adanya pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran, yang menciptakan dominasi dan opini publik yang tidak sehat yang diterima masyarakat.
Namun sayang hal ini tak dikabulkan oleh MK, MK menilai amanat pembatasan kepemilikan dan larangan frekuensi dalam UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 pasal 18 ayat satu dan pasal 34 ayat empat yang implementasinya diatur melalui peraturan pemerintah (PP) nomor 50 telah sesuai dengan UUD 1945. Jika terjadi penyimpangan dalam praktinya maka bukan masalah konstitusional, melainkan norma hukum yang dilanggar. Pelaksana UU yakni pemerintah harus menegakkan UU penyiaran dan menelusuri kepemilikan saham yang melanggar UU.
Dalam putusan tersebut dua  hakim MK yakni Achmad Sodiki dan Harjono memilih berbeda pendapat dengan tujuh hakim MK lainnya. Mereka berpendapat seharusnya gugatan KIDP dikabulkan, guna memberikan kepastian bila  praktik monopoli dan pemindahan frekuensi yang dilakukan lembaga penyiaran swasta melanggar konstitusi.
Hakim Harjono menilai, jika pemerintah selaku pelaksana UU tidak dapat mengatur kepemilikan dan membiarkan pemindahtangan frekuensi berarti mereka melawan perintah UU Penyiaran.
Putusan MK ini secara substantif mendukung  sekaligus menguatkan amanat UU penyiaran bahwa praktek monopoli dan pemindahtanganan frekuensi yang terjadi selama ini melanggar hukum. Pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menjalankan secara konsisten amanah UU penyiaran. Serta peran masyarakat pula terlibat dalam mencegah konglomerasi media penyiaran.

Resume ‘The Al Jazeera Phenomenon’



Beberapa fenomena di dunia Arab yang bisa dibilang lebih menarik dari Al Jazeera Arab berita satelit 24 jam dan diskusi channel dari Teluk semenanjung kecil Qatar. Keberhasilan membawa media terkejut adegan Arab dan bahkan tertegun Al Jazeera sendiri. Iklan itu sendiri sebagai forum untuk berbagai pandangan, dengan focus tentang isu-isu yang menjadi perhatian Arab yang luas dan menggerek subyek kontroversial, Al Jazeera telah dalam waktu singkat berhasil memperoleh peran utama dalam adegan media Arab.
Menurut laporan 2002 tentang Timur Tengah komunikasi diterbitkan oleh sorot bintik Communications, "Al Jazeera adalah pusat-tahap dalam modernisasi siaran Arab-bahasa. " Tidak hanya memiliki jaringan meninggalkan tanda permanen pada penyiaran di dunia Arab, tetapi juga mengembangkan potensi untuk mempengaruhi opini publik Arab dan politik Arab. Pada saat yang sama, Al Jazeera sangat kontroversial. Baik di dalam dan di luar Arab dunia, jangkauan jaringan telah diterima dengan skeptis.
Selama perang di Afghanistan, jaringan telah memicu banyak kontroversi dipublikasikan, mengumpulkan banyak kebencian dan menarik banyak kritik. Jauh dari antusiasme mereka yang juara dan kepahitan mereka yang mengkritik itu, Al Jazeera tetap tidak hanya sebuah fenomena yang layak eksplorasi, tetapi juga salah satu yang memohon untuk pemahaman yang lebih baik.
Al Jazeera merupakan saluran operasional yang relatif bebas dalam apa yang banyak pengamat anggap sebagai salah satu daerah yang kurang cenderung ke arah kebebasan berekspresi. Apa yang membuat usaha ini mungkin adalah inisiatif Qatar untuk meliberalisasi pers dan menghapus sensor, sebuah inisiatif yang memberi Al Jazeera tangan yang bebas untuk mengoperasikan lebih dari itu memiliki efek abadi pada media Qatar secara keseluruhan. Setelah mengambil kekuasaan, Emir Qatar-yang tertarik tidak hanya pada memelihara kebebasan berbicara, tetapi juga pada menggoda dengan demokrasi mengangkat sensor media dengan membubarkan Departemen Penerangan, yang bertanggung jawab untuk penyensoran media. Sheikh Hamad bin Thamer Al Thani, Ketua Dewan Al Jazeera, menjelaskan dasar pemikiran: "Kementerian Informasi ... adalah Departemen yang mengontrol media massa, baik itu televisi, radio atau koran. Kami tidak melihat bahwa Kementerian Informasi mempunyai peran positif untuk bermain dalam proyek media masa depan. "
Dilihat dari sudut pandang ini, kunci keberhasilan saluran adalah Jumlah relatif kebebasan yang tersedia untuk orang-orang yang bekerja di Al Jazeera.3 Dengan demikian, Al Jazeera menikmati margin belum pernah terjadi sebelumnya kebebasan yang membuatnya menjadi surga bagi kebebasan berbicara di dunia Arab. Bahkan, itu populer justru karena secara terbuka membahas topik yang sensitif dan menangani isu-isu kontroversial. Ini usaha menjadi ranah diskusi terbuka
jarang dilakukan oleh lembaga penyiaran lain di wilayah ini. Bicara menunjukkan tanpa malu-malu menangani pakaian dalam wanita seperti korupsi pemerintah, catatan hak asasi manusia rezim Arab, penganiayaan politik pembangkang, hukum Islam (Syariah atau), (dalam) kompatibilitas Islam dan demokrasi, dan fundamentalisme Islam.
Sampai batas tertentu, Al Jazeera tidak hanya mengisi kekosongan media, namun juga kekosongan politik. Dengan tidak adanya kemauan politik dan pluralisme politik di dunia Arab, Al Jazeera berfungsi sebagai oposisi de facto pan-Arab dan sebuah forum untuk perlawanan. Ini memberikan suara untuk menentang Arab pandangan dan platform profil tinggi bagi para pembangkang politik banyak yang tinggal di luar negeri. Di satu sisi, Al Jazeera telah melembagakan hak untuk memiliki akses ke media untuk perwakilan dari berbagai daerah kelompok oposisi. Hal ini telah dicap sebagai salah satu jaringan yang pertanyaan otoritas dan tantangan wacana politik bersama.
Memproyeksikan agenda reformis tak terucapkan, Al Jazeera tidak malu jauh dari meliputi isu-isu politik dan sosial di mana Arab pemerintah lebih memilih untuk diam. Dalam beberapa program-programnya, Al Jazeera bijaksana menyambut kritik pemerintah dan host bicara menunjukkan sering menantang tamu mereka jika mereka meminta maaf untuk mereka pemerintah. Al Jazeera juga telah memimpin jalan dalam mengungkap kekuatan Arab pelanggaran dan memberikan jalan keluar untuk sebuah kekecewaan meresapi dengan non-demokratis dan otokratis sistem pemerintahan di wilayah tersebut. Di demikian, telah menanamkan apa yang dapat longgar digambarkan sebagai budaya akuntabilitas. Tokoh-tokoh terkemuka dan pembuat kebijakan harus tiba-tiba menjadi akuntabel dan bertanggung jawab kepada publik.
Yang cukup menarik, resmi berdiri menuju Al Jazeera tidak cocok popularitasnya dengan segmen besar pemirsa Arab. Jaringan telah mendapatkan banyak popularitas di kalangan pemirsa Arab karena memiliki mengumpulkan kebencian dan kritik menarik dari pemerintah Arab. Menurut sebuah jajak pendapat Gallup 2002 di dunia Arab dan Islam dilakukan di sembilan negara, Al Jazeera secara luas menyaksikan-meskipun dengan nuansa menarik antara regions. Di Teluk Persia wilayah dan di Yordania, Al Jazeera adalah jauh stasiun disukai untuk berita (56 persen di Kuwait dan 47 persen di Arab Saudi), dalam Levant, pemirsa jaringan relatif tinggi (44 persen di Jordan dan 37 persen di Lebanon di mana vies untuk tempat pertama dengan saluran Lebanon), dan di Maghreb, Al Jazeera cukup popular meskipun tidak saluran disukai (20 persen di Maroko, dengan dua saluran lokal nasib sedikit lebih baik). Temuan jajak pendapat bahwa penonton di negara-negara seperti Kuwait, Arab Saudi, Yordania, dan Lebanon yang paling mungkin untuk beralih ke Al Jazeera pertama yang mengejar peristiwa dunia menunjukkan bahwa, pada umumnya, Al Jazeera dianggap positif di dunia Arab.
Al Jazeera membedakan dirinya dengan upayanya untuk menjangkau besar Pemirsa Arab, membahas isu-isu yang mendesak di Arab dan Dunia Muslim, pada umumnya, dan penuh konflik Timur Tengah, di tertentu. Berurusan dengan berbagai isu yang menyentuh Arab dunia seperti pemboman Anglo-Amerika dari Baghdad dalam operasi Desert Fox, penderitaan rakyat Irak di bawah selama satu decade sanksi, intifada Palestina, perang di Afghanistan dan Invasi Irak-Al Jazeera telah berhasil mengukir ceruk untuk dirinya sendiri.
Terlepas dari terobosan Al Jazeera telah dibuat, kebebasan berbicara ini jaringan menikmati bukan tanpa kendala. Al Jazeera curiga diam Qatar, ia menawarkan cakupan hemat dari negara tuan rumah dan berhati-hati untuk tidak mengkritik itu. Meskipun dalam beberapa kasus masalah Qatar telah tercakup dan meskipun Menteri Luar Negeri itu, pada lebih dari satu kesempatan, diberi tumpangan kasar pada Ahmad Mansour terkemuka menunjukkan Without Borders (Bila Hudud) pada isu-isu beberapa di antaranya berhubungan dengan Qatar dan Al Jazeera, secara keseluruhan, saluran program menghindari isu-isu yang menanggung Qatar sendiri. Jaringan, sebagai kritik menunjukkan, "adalah di bawah jempol dari kerajaan Qatar keluarga, yang kebijakannya [itu] tidak pernah mengkritik "25 Jon Alterman sepakat.: "Qatar isu seperti perebutan kekuasaan antara Emir saat dan ayahnya, yang dia mengungsi, tidak menemukan outlet pada Al Jazeera, juga tidak kritik kebijakan luar negeri Qatar. "26 Selanjutnya, terlepas dari baris politik Al Jazeera telah menyebabkan, itu aneh tidak cukup berdampak pada politik domestik host negara. Seolah-olah Al Jazeera adalah sebuah perusahaan lepas pantai atau zona bebas ventura. Untuk beberapa kritikus, Al Jazeera probe urusan lainnya Negara-negara Arab untuk mengalihkan perhatian pemirsa dari inangnya sendiri intern politik dan pengaturan dengan AS-yang memiliki militer terbesar dasar di daerah serta Komando Pusat di Qatar.
Ada persepsi bahwa kepemimpinan politik Qatar halus memanipulasi Al Jazeera untuk tujuan mengendalikan masyarakat Qatar dengan mengabaikan domestik issues27-meskipun Qatar tidak Mesir dengan populasi besar atau Irak dengan etnis beragam dan seringkali bertentangan dan sekte-sekte keagamaan. Bahkan, ada kurang dari 200.000 warga Qatar asli dan mereka juga disediakan oleh mereka yang kaya pemerintah.
Erat berhubungan dengan politik Al Jazeera adalah ekonomi politik. Al Jazeera telah dibiayai dengan anggaran tahunan sebesar $ 30 juta. Pada tahun 1995, Emir Qatar, Sheik Hamad Al Thani, menandatangani sebuah dekrit meluncurkan saluran berita independen yang akan dibiayai awalnya dengan pemerintah. Dengan demikian, pada tahun 1996, pemerintah Qatar tersedia Al Jazeera dengan lima tahun pinjaman $ 150.000.000 yang, secara teoritis, adalah jatuh tempo dengan ulang tahun kelima Al Jazeera. Dilihat dari perspektif global, tidak ada yang luar biasa tentang kepemilikan Al Jazeera. Jika ada, media Emir usaha sesuai dengan kecenderungan global yang menarik memihak pernikahan antara kepemilikan dan politik media. Sebagai contoh, Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, adalah baik tokoh politik dan pengusaha telekomunikasi. Demikian juga, Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia, adalah pelopor TV komersial dan penerbitan di Italia. Di Timur Tengah, Perdana Menteri Lebanon, bisnis taipan dan media baron Rafiq Hariri Al, memiliki saluran satelit TV masa depan. Al Jazeera bisa dikatakan melambangkan tren baru yang ditandai dengan politisasi kepemilikan media.
Meskipun dana dari negara, Al Jazeera telah dipertimbangkan sejak awal sebagai "otonom" jaringan dengan kemerdekaan editorial. Tentu saja, otonomi dan kemerdekaan adalah konsep relative untuk, setelah semua, Al Jazeera diatur oleh dewan direksi yang dipimpin oleh Sheikh Hamad bin Thamir Al Thani, seorang anggota Qatar memerintah keluarga. Namun, gagasan sebuah saluran TV yang governmentfinanced dan belum independen yang sama sekali baru ke wilayah tersebut. Ini kemandirian dan otonomi meminjamkan Al Jazeera banyak kredibilitas dan kreativitas. Setidaknya di dunia Arab, hal itu dirasakan oleh banyak pemirsa sebagai sumber kredibel berita. Harus dikatakan bahwa Al Jazeera menyediakan kasus langka penyandang dana tidak mengganggu dan intervensi dalam kebijakan editorial. Meskipun demikian, beberapa menemukan hubungan antara ini sumber berita dan pemerintah agak tidak nyaman. Al Jazeera dapat mengklaim kemerdekaan, tetapi jaringan hanya memiliki kemerdekaan relatif, itu tidak dikendalikan pemerintah, tetapi tetap milik pemerintah. Untuk apa dana negara sejauh mempengaruhi independensi dan editorial pengambilan keputusan jaringan tetap menjadi masalah yang mendesak.
Ketika Kerajaan Arab Saudi atau Israel, di antara negara-negara lain, mengeluh kepada Kantor Luar Negeri Inggris tentang isi tertentu Program BBC, jawabannya adalah selalu sama: pemerintah dari Her Majesty tidak dapat mengintervensi kebijakan editorial BBC, kemerdekaan yang disediakan oleh hukum. Sebagai sebenarnya, krisis Irak, dan terutama urusan Kelly, telah cukup menunjukkan bahwa pemerintah Inggris sendiri tidak kebal dari independensi editorial. Ini adalah kasus tidak hanya dengan Tony Blair selama Ketiga Perang Teluk tetapi juga dengan Margaret Thatcher selama Perang Falklands. Namun, pemerintah Saudi, yang tidak berhasil membujuk televisi publik Inggris dari ditayangkan Kematian Putri pada awal tahun 1980, 1 sehingga memicu serangkaian krisis diplomatik antara London dan Riyadh, terus mengeluh ke Whitehall tentang gambaran BBC Kerajaan Arab Saudi dan menuntut penjinakan dari saluran bandel.
Dalam rangka untuk cukup menilai dampak dari Al Jazeera dan untuk sepenuhnya memahami perubahan berikutnya dalam hubungan Qatar dengan nya tetangga dan, lebih umum, bagaimana memposisikan diri di Tengah Wilayah Timur, hal ini berguna untuk menyoroti karakteristik utama dari negara kecil yang tidak mendapatkan kemerdekaan sampai tahun 1971, seperti kasus dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab Unites. Baik dari segi citra dan status regionalnya, Qatar telah datang jauh; apa telah berhasil mencapai dalam waktu yang relatif singkat waktu yang cukup mengesankan. Pada tahun 1995, ketika duduk Emir Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani digulingkan ayahnya, Sheikh Khalifa bin Hamad Al Thani, yang negara dianggap sebagai satelit diskrit Arab Saudi.
Satu tidak dapat berbicara tentang fenomena televisi satelit di dunia Arab tanpa berfokus pada program-program politik hidup, yang banyak mempertimbangkan untuk menjadi pusat revolusi satelit. Ini yang lebih dikenal di Arab jargon media sebagai pandangan-pertukaran atau dialoguebased program. Mereka adalah salah satu fitur yang paling mencolok dari media Arab baru dan bisa dibilang yang paling revolusioner, sebagian karena bertukar pendapat dan perasaan ventilasi hidup di TV praktek baru. Bagaimana masyarakat di dunia Arab menerima bicara menunjukkan? Mengapa pemirsa Arab mewah begitu banyak pujian pada mereka? Apakah mereka benar-benar menyebabkan fragmentasi lebih Arab? Apakah mereka menjadi katalisator bagi kesatuan, setidaknya di tingkat akar rumput atau tingkat opini publik? Apa yang telah mereka capai politis dan budaya? Apakah mereka lewat sebuah menggila atau mereka di sini untuk tinggal untuk waktu yang lama? Apakah mereka merit penyalahgunaan ditimpakan pada mereka oleh media resmi Arab? Bab ini upaya untuk menjawab pertanyaan ini dan lainnya yang terkait dengan menggambar pada saya talk show mingguan, The Opposite Direction (Al Ittijah Al Muaakis), yang secara luas dianggap sebagai program unggulan Al Jazeera. Program ini, yang ini bisa dibilang yang paling populer dan paling controversial politik talk show Arab, terus menghasilkan yang luar biasa emosional Reaksi di seluruh dunia Arab.
Dalam rangka untuk menghargai sepenuhnya pentingnya dan sentralitas seperti bicara program acara, perlu di awal untuk membandingkan mereka sebentar dengan nenek moyang terestrial mereka dan mengeksplorasi reaksi resmi kepada mereka. Meskipun banyak rezim Arab meluncurkan televisi mereka saluran dekade lalu, mereka selalu terus berceramah menunjukkan dari udara, seperti berbicara di depan umum-apalagi secara real time-berpotensi mengerikan di dunia Arab. Semua materi televisi, termasuk program permintaan penampil, disajikan kalengan. Ketika negara-negara Arab memikirkan modernisasi saluran TV mereka, mereka mulai memungkinkan jinak tertentu telepon dalam program, termasuk, misalnya, wawancara dengan penyanyi. Tapi hidup menunjukkan tetap untuk sebagian besar tabu; mengkritik resmi kebijakan pemerintah itu hanya terpikirkan.