Sabtu, 03 September 2016

Regulasi Konglomerasi Media Penyiaran



HINDARI KONGLOMERASI MEDIA PENYIARAN
Perkembangan teknologi komunikasi kian canggih telah membawa perubahan peran bagi dunia jurnalistik dan informasi. Masyarakat modern menjadikan informasi sebagai salah satu kebutuhan pokoknya disamping pangan, sandang dan papan. Karenanya dunia jurnalistik berkembang pesat hingga memicu munculnya industri media massa. Di Indonesia sejak runtuhnya masa orde baru (orba) media massa mengalami perkembangan yang pesat, bagai jamur di musim hujan. Bagaimana tidak lebih dari 1.600 Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) baru dikeluarkan periode Mei 1998 sampai dengan Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP dicabut dengan disahkannya UU pers No. 40 tahun 1999. Bandingkan dengan masa orba yang hanya mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun.
Bahkan saat ini pemilik media tidak hanya memiliki satu perusahaan media saja. Hal ini jelas-jelas melanggar UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 pasal 18;
(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.
(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.
(3) Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Selain itu diatur pula pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) pada bab lima tentang pembatasan kepemilikan dan penguasaan serta kepemilikan silang. Pasal 32;
(1)          Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:
a.              1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda;
b.             paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu);
c.              paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua);
d.             paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-3 (ketiga);
e.              paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-4 (keempat) dan seterusnya;
f.              badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Dua UU ini sudah sangat jelas melarang konglomerasi media penyiaran. Tak ada multi tafsir di dalamnya. Seperti pada UU penyiaran pasal 18 Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.
Seperti kita ketahui di negeri tercinta kita ini, pemilik media tak hanya memiliki satu media saja. Transcorp yang memiliki Trans TV dan Trans7, Vivanews yang memiliki ANTV dan TVONE, MNC grup yang memiliki RCTI, MNC TV dan Global TV serta yang baru-baru ini PT EMTK memiliki SCTV, O Channel dan Indosiar.
Dengan begini frekuensi akan dikuasai oleh segelintir orang, sehingga terjadi konglomerasi pembentukan opini, dan ini berbahaya untuk demokratisasi penyiaran. Publik hanya mendapat informasi yang dari satu perusahaan saja. Meski beda saluran pemilik dari media tersebut sama. Publik harus bisa membedakan mana informasi yang benar-benar terjadi dan informasi yang dibuat untuk kepentingan media itu sendiri.
Siapakah yang disalahkan atas ini UU yang yang tidak dilaksanakan atau pemilik media yang memang sengaja memonopoli media. Saat ini masyarakat sangat membutuhkan informasi baik cetak maupun elektronik. Sehingga perkembangan media massa di Indonesia cukup pesat. Pengusaha melihat peluang bisnis yang bagus untuk mendirikan media massa. Ditambah saat ini sudah tidak diberlakukan SIUPP seperti di masa ordeba.
Kalau sudah begini publik hendaknya untuk pandai-pandai menyaring informasi yang didapat. Apakah ada unsur kepentingan pemilik media atas informasi yang didapatnya. Peran pemerintah pun sangat penting dalam melaksanakan UU.
Hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh pemilik media untuk pencitraan dirinya. Publik disuguhi informasi yang menguntungkan perorangan atau kelompok itu saja. Karenanya menjadi wajar bila kemudian muncul pendapat umum bahwa siapa yg menguasai informasi akan menjadi penguasa dimasa depan. Hal ini mungkin saja terjadi karena opini publik dibuat oleh opini media. Sehingga apa yang dianggap penting oleh media dianggap penting pula oleh publik. Mudah saja bagi media untuk memframe sebuah informasi untuk kepentingan perorangan atau kelompoknya.
Undang-Undang yang dibuat sudah jelas. Pelaksana Undang-Undang semestinya bergerak cepat dalam mengantisipasi masalah ini. Sebab saat ini tidak satu atau dua perusahaan saja yang memonopoli penyiaran. Alangkah baiknya tak ada kata terlambat untuk suatu kebaikan. Kalau dibiarkan saja hal ini tentu menguntungkan orang yang punya kendali banyak pada media. Atas informasi yang tidak seimbangpun wartawan terkena imbas dari konglomerasi media. Wartwan dianggap tidak memberitakan suatu peristiwa secara adil, seimbang dan faktual.
Beberapa lembaga yang sadar akan konglomerasi media penyiaran ini membetuk Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji materi UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 pasal 18 dan 34. Para Pemohon dalam permohonoan uji materil ini yaitu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Media Link, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan Yayasan Dua Puluh Delapan (Y28). KIDP menganggap kepemilikan lembaga penyiaran yang selama ini dimonopoli sekelompok elite pengusaha tertentu akan merugikan publik. Selain itu dinilai memunculkan potensi kerugian konstitusional yang dialami pemohon adalah terancamnya kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, berekspresi karena adanya pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran, yang menciptakan dominasi dan opini publik yang tidak sehat yang diterima masyarakat.
Namun sayang hal ini tak dikabulkan oleh MK, MK menilai amanat pembatasan kepemilikan dan larangan frekuensi dalam UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 pasal 18 ayat satu dan pasal 34 ayat empat yang implementasinya diatur melalui peraturan pemerintah (PP) nomor 50 telah sesuai dengan UUD 1945. Jika terjadi penyimpangan dalam praktinya maka bukan masalah konstitusional, melainkan norma hukum yang dilanggar. Pelaksana UU yakni pemerintah harus menegakkan UU penyiaran dan menelusuri kepemilikan saham yang melanggar UU.
Dalam putusan tersebut dua  hakim MK yakni Achmad Sodiki dan Harjono memilih berbeda pendapat dengan tujuh hakim MK lainnya. Mereka berpendapat seharusnya gugatan KIDP dikabulkan, guna memberikan kepastian bila  praktik monopoli dan pemindahan frekuensi yang dilakukan lembaga penyiaran swasta melanggar konstitusi.
Hakim Harjono menilai, jika pemerintah selaku pelaksana UU tidak dapat mengatur kepemilikan dan membiarkan pemindahtangan frekuensi berarti mereka melawan perintah UU Penyiaran.
Putusan MK ini secara substantif mendukung  sekaligus menguatkan amanat UU penyiaran bahwa praktek monopoli dan pemindahtanganan frekuensi yang terjadi selama ini melanggar hukum. Pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menjalankan secara konsisten amanah UU penyiaran. Serta peran masyarakat pula terlibat dalam mencegah konglomerasi media penyiaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar