HINDARI KONGLOMERASI MEDIA PENYIARAN
Perkembangan teknologi komunikasi kian canggih telah
membawa perubahan peran bagi dunia jurnalistik dan informasi. Masyarakat modern
menjadikan informasi sebagai salah satu kebutuhan pokoknya disamping pangan,
sandang dan papan. Karenanya dunia jurnalistik berkembang pesat hingga memicu
munculnya industri media massa. Di Indonesia sejak
runtuhnya masa orde baru (orba) media massa mengalami perkembangan yang pesat,
bagai jamur di musim hujan. Bagaimana tidak lebih dari 1.600 Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) baru dikeluarkan periode Mei 1998 sampai dengan Agustus
1999, sebelum ketentuan SIUPP dicabut dengan disahkannya UU pers No. 40 tahun 1999.
Bandingkan dengan masa orba yang hanya mengeluarkan 241 perizinan selama 32
tahun.
Bahkan saat ini pemilik media tidak
hanya memiliki satu perusahaan media saja. Hal ini jelas-jelas melanggar UU
penyiaran nomor 32 tahun 2002 pasal 18;
(1) Pemusatan kepemilikan dan
penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik
di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.
(2) Kepemilikan silang antara
Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga
Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga
Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran
Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung
maupun tidak langsung, dibatasi.
(3) Pengaturan jumlah dan cakupan
wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio
maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Selain itu diatur pula
pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran
Swasta (LPS) pada bab lima tentang pembatasan kepemilikan dan penguasaan serta
kepemilikan silang. Pasal 32;
(1)
Pemusatan kepemilikan
dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh 1 (satu)
orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa
wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:
a.
1 (satu) badan hukum
paling banyak memiliki 2 (dua)
izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi
di 2 (dua) provinsi yang berbeda;
b.
paling banyak memiliki
saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu);
c.
paling banyak memiliki
saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-2
(kedua);
d.
paling banyak memiliki
saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-3 (ketiga);
e.
paling banyak memiliki
saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-4 (keempat) dan
seterusnya;
f.
badan hukum sebagaimana
dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa
wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Dua UU ini sudah sangat
jelas melarang konglomerasi media penyiaran. Tak ada multi tafsir di dalamnya.
Seperti pada UU penyiaran pasal 18 Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga
Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah
siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.
Seperti kita ketahui
di negeri tercinta kita ini, pemilik media tak hanya memiliki satu media saja.
Transcorp yang memiliki Trans TV dan Trans7, Vivanews yang memiliki ANTV dan
TVONE, MNC grup yang memiliki RCTI, MNC TV dan Global TV serta yang baru-baru
ini PT EMTK memiliki SCTV, O Channel dan Indosiar.
Dengan begini
frekuensi akan dikuasai oleh segelintir orang, sehingga terjadi konglomerasi
pembentukan opini, dan ini berbahaya untuk demokratisasi penyiaran. Publik
hanya mendapat informasi yang dari satu perusahaan saja. Meski beda saluran
pemilik dari media tersebut sama. Publik harus bisa membedakan mana informasi
yang benar-benar terjadi dan informasi yang dibuat untuk kepentingan media itu
sendiri.
Siapakah yang
disalahkan atas ini UU yang yang tidak dilaksanakan atau pemilik media yang
memang sengaja memonopoli media. Saat ini masyarakat sangat membutuhkan
informasi baik cetak maupun elektronik. Sehingga perkembangan media massa di
Indonesia cukup pesat. Pengusaha melihat peluang bisnis yang bagus untuk
mendirikan media massa. Ditambah saat ini sudah tidak diberlakukan SIUPP
seperti di masa ordeba.
Kalau sudah begini
publik hendaknya untuk pandai-pandai menyaring informasi yang didapat. Apakah
ada unsur kepentingan pemilik media atas informasi yang didapatnya. Peran
pemerintah pun sangat penting dalam melaksanakan UU.
Hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh pemilik media
untuk pencitraan dirinya. Publik disuguhi informasi yang menguntungkan
perorangan atau kelompok itu saja. Karenanya menjadi wajar bila kemudian
muncul pendapat umum bahwa siapa yg menguasai informasi akan menjadi penguasa
dimasa depan. Hal ini mungkin saja terjadi karena opini publik dibuat oleh
opini media. Sehingga apa yang dianggap penting oleh media dianggap penting
pula oleh publik. Mudah saja bagi media untuk memframe sebuah informasi untuk kepentingan perorangan atau
kelompoknya.
Undang-Undang yang dibuat sudah jelas. Pelaksana Undang-Undang
semestinya bergerak cepat dalam mengantisipasi masalah ini. Sebab saat ini
tidak satu atau dua perusahaan saja yang memonopoli penyiaran. Alangkah baiknya
tak ada kata terlambat untuk suatu kebaikan. Kalau dibiarkan saja hal ini tentu
menguntungkan orang yang punya kendali banyak pada media. Atas informasi yang
tidak seimbangpun wartawan terkena imbas dari konglomerasi media. Wartwan
dianggap tidak memberitakan suatu peristiwa secara adil, seimbang dan faktual.
Beberapa lembaga yang sadar akan konglomerasi media
penyiaran ini membetuk Koalisi Independen
untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
menguji materi UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 pasal 18 dan 34. Para Pemohon
dalam permohonoan uji materil ini yaitu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Media Link, Pemantau Regulasi
dan Regulator Media (PR2Media) dan Yayasan Dua Puluh Delapan (Y28). KIDP menganggap
kepemilikan lembaga penyiaran yang selama ini dimonopoli sekelompok elite
pengusaha tertentu akan merugikan publik. Selain itu dinilai memunculkan
potensi kerugian konstitusional yang dialami pemohon adalah terancamnya
kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, berekspresi karena adanya pemusatan
kepemilikan lembaga penyiaran, yang menciptakan dominasi dan opini publik yang
tidak sehat yang diterima masyarakat.
Namun sayang hal ini tak dikabulkan oleh
MK, MK menilai amanat pembatasan kepemilikan dan larangan frekuensi dalam UU
penyiaran nomor 32 tahun 2002 pasal 18 ayat satu dan pasal 34 ayat empat yang
implementasinya diatur melalui peraturan pemerintah (PP) nomor 50 telah sesuai
dengan UUD 1945. Jika terjadi penyimpangan dalam praktinya maka bukan masalah
konstitusional, melainkan norma hukum yang dilanggar. Pelaksana UU yakni
pemerintah harus menegakkan UU penyiaran dan menelusuri kepemilikan saham yang
melanggar UU.
Dalam
putusan tersebut dua hakim MK yakni Achmad Sodiki dan Harjono memilih berbeda
pendapat dengan tujuh hakim MK lainnya. Mereka berpendapat seharusnya gugatan KIDP
dikabulkan, guna memberikan kepastian bila praktik monopoli dan
pemindahan frekuensi yang dilakukan lembaga penyiaran swasta melanggar konstitusi.
Hakim
Harjono menilai, jika pemerintah selaku pelaksana UU tidak dapat mengatur
kepemilikan dan membiarkan pemindahtangan frekuensi berarti mereka melawan
perintah UU Penyiaran.
Putusan MK ini secara
substantif mendukung sekaligus menguatkan amanat UU penyiaran bahwa
praktek monopoli dan pemindahtanganan frekuensi yang terjadi selama ini
melanggar hukum. Pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk
menjalankan secara konsisten amanah UU penyiaran. Serta peran masyarakat pula
terlibat dalam mencegah konglomerasi media penyiaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar