REVOLUSI SISTEM PERS
Artikel berjudul “Bad News” yang ditulis oleh Dosen
UIN Jakarta, Rully Nasrullah, di majalah Sabili menyoroti soal media massa yang
memberitakan suatu peristiwa tak sesuai fakta. Media tidak seragam dalam
memberitakan suatu fakta. Entah siapa yang salah, apakah media salah mendapat
informasi atau hanya trik media menjatuhkan seseorang atau kelompok. Media
sengaja membuat sensasi agar berita yang ditonjolkan mendapat perhatian dari
masyarakat.
Sejak runtuhnya masa orde baru (Orba) media massa
mengalami perkembangan yang pesat, bagai jamur di musim hujan. Bagaimana tidak
lebih dari 1.600 Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) baru dikeluarkan
periode Mei 1998 sampai dengan Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP dicabut
dengan disahkannya UU pers No. 40 tahun 1999. Bandingkan dengan masa Orba yang
hanya mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun.
Di era Reformasi media massa bebas memberitakan
suatu peristiwa tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Media pun tak takut
akan dibredel karena mengkritisi kebijakan pemerintah yang kurang pro rakyat.
Di era inilah media massa Indonesia menjalankan fungsinya sebagai sosial
kontrol kebijakan publik, menyuarakan suara rakyat, mendidik dan
menginformasikan.
Seiring berjalannya waktu media massa terlalu bebas
dalam memberitakan suatu peristiwa. Sehingga ada pihak yang dirugikan dari
pemberitaan media massa. Diantara pelanggaran yang dilakukan data yang tidak
berimbang, mencampurkan fakta dengan opini, dan data tak akurat.
Menurut catatan Dewan Pers lebih dari 400 pengaduan
masyarakat sepanjang 2012, mulai kasus pencemaran nama baik, pemberitaan tidak
akurat hingga pemberitaan pornografi dan kasus Sara. Dari kasus-kasus ini pers
harus mengintropeksi diri sejauh mana berita yang disajikan bersifat objektif
dan seimbang. Jangan sampai masyarakat hilang kepercayaan terhadap pers, karena
pers salah satu pilar dari demokrasi.
Media hendaknya mengintropeksi diri sejauh mana berita yang dihasilkan sesuai dengan fakta,
tidak memprovokasikan masyarakat. Informasi yang didapat harusnya dikonfirmasi
lagi kepada narasumber. Hal tersebut sesuai dengan prinsip jurnalisme islami
yang menekankan pada bagaimana memperlakukan peristiwa dan informasi sebagai
sebuah fakta yangmenjadi bahan baku pemberitaan.
Menurut Tokoh pers nasional Parni Hadi jurnalisme
islam adalah praktek jurnalistik yang dilakukan oleh orang Islam dan non Islam,
bertujuan untuk membela kebenaran dan keadilan untuk semua. Berdasarkan
pemahaman tersebut bagi Parni hadi jurnalisme Islam adalah jurnalisme yang
mempraktekkan keempat akhlak mulia Rasulullah Muhammad SAW yakni sidiq,
tabligh, amanah dan fathonah.
Bila melihat pengertian jurnalisme islam yang
dipaparkan oleh Parni Hadi media tidak akan memihak atau berat sebelah dalam
memberitakan suatu peristiwa karena media akan memberitakan sesuai dengan fakta
di lapangan secara adil. Kalau sudah begitu media akan kembali lagi pada fungsi
semestinya yakni media melaporkan berita bukan membuat berita.
Tak hanya kerjanya saja yang diubah dalam
menjalankan tugasnya pemilik media pun sebaiknya tidak menjadi bagian dari
partai politik agar berita yang disajikan tidak melebih-lebihkan partainya atau
menyerang lawan politiknya. Masyarakat pun harus pintar-pintar memilah-milih
berita apa yang diterima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar