Sabtu, 03 September 2016

TEORI PERS OTORITER (AUTHORITARIAN)



Teori Pers otoriter (Authoritarian)
Teori ini dikenal sebagai sistem tertua di antara empat sistem pers di dunia. Ia muncul pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans, setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam teori pers ini kebenaran dianggap bukanlah hasil dari masyarakat, tetapi dari sekelompok kecil orang-orang bijak yang berkedudukan membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke bawah.
Penguasa-penguasa waktu itu menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang apa yang oleh pengusaha itu dianggap perlu diketahui rakyat dan tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung.
Teori pers ini dimana pers menjadi pelayan Negara yang mempertanggungjawabkan sebagian besar isi pernyataan kepada para penguasa yang memerintah secara universal dipakai pada abad 16 dan 17. Konsep ini membentuk pola asli bagi sebagian besar sistem pers nasional di dunia dan sampai sekarang masih ada. Sebenarnya praktek-praktek otoritarian masih ditemukan di seluruh dunia walaupun telah ada dipakai teori lain, dalam ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, sebagian besar Negara-negara no komunis.
Teori ini berkembang di Ingggris pada abad 16 dan 17 di pakai secara meluas di dunia dan masih dipraktekkan di beberapa tempat sekarang ini. Muncul dari filsafat kekuasaan monarki absolut, kekuasaan absolut, atau kedua-duanya. Tujuan utamanya mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa dan mengabdi pada Negara. Pers dilarang mengkritik terhadap mekanisme politik dan para pejabat yang berkuasa.
Dalam teori ini, media massa berfungsi menunjang Negara (kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karna itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa. Akibatnya sistem media massa sepenuhnya berada dibawah pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat tergantung pada kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Teori ini telah menjadi doktrin dasar di sebagian besar dunia selama berabad-abad. Secara sadar atau tidak, di jaman moderen teori ini digunakan Negara-negara seperti Jepang, Rusia, Jerman, Spanyol, serta banyak Negara Asia dan Amerika Selatan. Secara kasarnya dapat dikatakan, bahwa teori ini telah menentukan pola komunikasi massa bagi lebih banyak orang di lebih banyak kesempatan, daripada teori-teori pengawasan pers lainnya.
Teori ini tidak memberi kebebasan “yang sesungguhnya” kepada wartawan. Tiap pelaku pers harus tunduk pada wewenang pemerintah. Bila tidak mau paksaan pun diberlakukan. Sensor dan hukuman diberlakukan,terutama yang menyangkut pada pelaksanaan “pedoman” politisi atau ideologis. Pengaturanya tercermin lewat peraturan perundang-undangan, pengendalian kegiatan pers secara langsung oleh pemerintah, kode etik, pajak, dan sanksi ekonomi, pengendalian informasi dari media ‘asing’ akses pemerintah mengatur staf redaksi.
Sistem pers ini berlaku di kawasan masyarakat prademokratis, berciri kediktatoran dan pengontrolan kekuasaan. Masyarakat dibawah pendudukan militer atau kendali “undang-undang keadaan darurat” menghidupi sistem pers ini.
Secara principal, cirri-ciri teori ini terlihat sebagai berikut:
·         Media tidak melakukan hal-hal yang diluar kewenangannya yang dapat merusak legitimasi kewenangan kekuasaan pemerintah.
·         Media selamanya (akhirnya) tunduk pada penguasa
·         Media seyogyanya menghindari perbuatan yang menentang tata nilai moral dan politik atau dominasi mayoritas.
·         Penyensoran dibenarkan untuk menjaga berbagai prinsip ini.
·         Kecaman yang tidak diterima penguasa, penyimpangan dari policy resmi, atau pers yang menentang kode moral: dianggap sebagai perbuatan pidana
·         Wartawan atau pelaku media massa tidak memiliki kebebasan di organisasi medianya.
Di Indonesia pernah diterapkan sistem pers otoriter oleh rezim Soeharto. Pada era ini pers diatur oleh penguasa, pers tidak boleh memberitakan hal-hal buruk mengenai pemerintah. Bila melanggar Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) akan dicabut. Pada era ini pers benar-benar dikendalikan oleh penguasa, pers bagaikan boneka yang bisa diatur sesuai keinginan penguasa. Meski penguasa menamakan sistem persnya sebagai pers pembangunan pancasila namun kenyataan yang diterapkan adalah sistem pers otoriter. Hal itu dilakukan agar terdengar lebih baik pers yang digunakan pers pancasila.
Harian seperti Asian Wall Street Journal, Far Eastern Economic Review, dan International Herald Tribune merupakan harian yang pernah berselisih dengan pemerintah Singapura, dan harus membayar denda serta menghadapi kontrol yang ketat dari pemerintah.
Keuntungan penguasa memakai sistem pers dalam pemerintahannya berguna untuk mempertahankan kekuasaannya. Masyarakat hanya diberikan informasi yang baik-baik saja tentang pemerintah. Sehingga yang ada dibenak masyarakat penguasa saat ini bagus.
Dalam sistem pers otoriter perslah yang paling ditersudutkan. Setiap pemberitaan pers harus diawasi terlebih dahulu oleh pemerintah. Bila ada yang tak sesuai dengan pemerintah akan disensor bahkan dituntut oleh pemerintah. Seperti perselisihan yang sering terjadi antara wartawan dengan pemerintahan Singapura yang terkenal dengan kontrol media yang ketat dimana petugas berwenang melakukan sensor dan pengeditan.
Pers otoriter dipandang jelek orang masyarakat karena pemerintah mengendalikan pers, akibatnya masyarakat selalu disajikan dengan kebaikan pemerintah yang belum tentu baik untuk masyarakat. Meski begitu saat pers otoriter diterapkan konflik antar masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah jarang terjadi. Sebab pers otoriter hanya memberikan hal positif saja tentang kebijakan pemerintah.
Daftar pustaka
·         Siebert,Fred S, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm. Empat Teori Pers.Jakarta:Intermasa. Cet. I. 1986
K, Septiawan Santana. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta:Yayasan Obaor Indonesia. 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar