Teori Pers
otoriter (Authoritarian)
Teori ini dikenal sebagai sistem
tertua di antara empat sistem pers di dunia. Ia muncul pada masa iklim
otoritarian di akhir Renaisans, setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam teori
pers ini kebenaran dianggap bukanlah hasil dari masyarakat, tetapi dari
sekelompok kecil orang-orang bijak yang berkedudukan membimbing dan mengarahkan
pengikut-pengikut mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan
pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke bawah.
Penguasa-penguasa waktu itu
menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang apa yang oleh
pengusaha itu dianggap perlu diketahui rakyat dan tentang kebijakan-kebijakan
penguasa yang harus didukung.
Teori pers ini dimana pers menjadi
pelayan Negara yang mempertanggungjawabkan sebagian besar isi pernyataan kepada
para penguasa yang memerintah secara universal dipakai pada abad 16 dan 17.
Konsep ini membentuk pola asli bagi sebagian besar sistem pers nasional di
dunia dan sampai sekarang masih ada. Sebenarnya praktek-praktek otoritarian
masih ditemukan di seluruh dunia walaupun telah ada dipakai teori lain, dalam
ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, sebagian besar Negara-negara no komunis.
Teori ini berkembang di Ingggris pada
abad 16 dan 17 di pakai secara meluas di dunia dan masih dipraktekkan di
beberapa tempat sekarang ini. Muncul dari filsafat kekuasaan monarki absolut,
kekuasaan absolut, atau kedua-duanya. Tujuan utamanya mendukung dan memajukan
kebijakan pemerintah yang berkuasa dan mengabdi pada Negara. Pers dilarang
mengkritik terhadap mekanisme politik dan para pejabat yang berkuasa.
Dalam teori ini, media massa
berfungsi menunjang Negara (kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuk
memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karna itu pemerintah langsung
menguasai dan mengawasi kegiatan media massa.
Akibatnya sistem media massa
sepenuhnya berada dibawah pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat
tergantung pada kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Teori ini telah menjadi doktrin dasar
di sebagian besar dunia selama berabad-abad. Secara sadar atau tidak, di jaman
moderen teori ini digunakan Negara-negara seperti Jepang, Rusia, Jerman,
Spanyol, serta banyak Negara Asia dan Amerika Selatan. Secara kasarnya dapat
dikatakan, bahwa teori ini telah menentukan pola komunikasi massa bagi lebih
banyak orang di lebih banyak kesempatan, daripada teori-teori pengawasan pers
lainnya.
Teori ini tidak memberi kebebasan
“yang sesungguhnya” kepada wartawan. Tiap pelaku pers harus tunduk pada
wewenang pemerintah. Bila tidak mau paksaan pun diberlakukan. Sensor dan hukuman
diberlakukan,terutama yang menyangkut pada pelaksanaan “pedoman” politisi atau
ideologis. Pengaturanya tercermin lewat peraturan perundang-undangan,
pengendalian kegiatan pers secara langsung oleh pemerintah, kode etik, pajak,
dan sanksi ekonomi, pengendalian informasi dari media ‘asing’ akses pemerintah
mengatur staf redaksi.
Sistem pers ini berlaku di kawasan
masyarakat prademokratis, berciri kediktatoran dan pengontrolan kekuasaan.
Masyarakat dibawah pendudukan militer atau kendali “undang-undang keadaan
darurat” menghidupi sistem pers ini.
Secara principal, cirri-ciri teori ini terlihat sebagai berikut:
·
Media tidak melakukan hal-hal
yang diluar kewenangannya yang dapat merusak legitimasi kewenangan kekuasaan
pemerintah.
·
Media selamanya (akhirnya)
tunduk pada penguasa
·
Media seyogyanya menghindari
perbuatan yang menentang tata nilai moral dan politik atau dominasi mayoritas.
·
Penyensoran dibenarkan untuk
menjaga berbagai prinsip ini.
·
Kecaman yang tidak diterima
penguasa, penyimpangan dari policy
resmi, atau pers yang menentang kode moral: dianggap sebagai perbuatan pidana
·
Wartawan atau pelaku media
massa tidak memiliki kebebasan di organisasi medianya.
Di Indonesia pernah diterapkan sistem
pers otoriter oleh rezim Soeharto. Pada era ini pers diatur oleh penguasa, pers
tidak boleh memberitakan hal-hal buruk mengenai pemerintah. Bila melanggar
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) akan dicabut. Pada era ini pers
benar-benar dikendalikan oleh penguasa, pers bagaikan boneka yang bisa diatur
sesuai keinginan penguasa. Meski penguasa menamakan sistem persnya sebagai pers
pembangunan pancasila namun kenyataan yang diterapkan adalah sistem pers
otoriter. Hal itu dilakukan agar terdengar lebih baik pers yang digunakan pers
pancasila.
Harian
seperti Asian Wall Street Journal, Far Eastern Economic Review, dan
International Herald Tribune merupakan harian yang pernah berselisih dengan
pemerintah Singapura, dan harus membayar denda serta menghadapi kontrol yang
ketat dari pemerintah.
Keuntungan penguasa memakai sistem
pers dalam pemerintahannya berguna untuk mempertahankan kekuasaannya.
Masyarakat hanya diberikan informasi yang baik-baik saja tentang pemerintah.
Sehingga yang ada dibenak masyarakat penguasa saat ini bagus.
Dalam sistem pers otoriter perslah
yang paling ditersudutkan. Setiap pemberitaan pers harus diawasi terlebih
dahulu oleh pemerintah. Bila ada yang tak sesuai dengan pemerintah akan
disensor bahkan dituntut oleh pemerintah. Seperti perselisihan yang sering terjadi antara wartawan
dengan pemerintahan Singapura yang terkenal dengan kontrol media yang ketat
dimana petugas berwenang melakukan sensor dan pengeditan.
Pers otoriter dipandang jelek orang
masyarakat karena pemerintah mengendalikan pers, akibatnya masyarakat selalu
disajikan dengan kebaikan pemerintah yang belum tentu baik untuk masyarakat.
Meski begitu saat pers otoriter diterapkan konflik antar masyarakat dengan
masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah jarang terjadi. Sebab pers
otoriter hanya memberikan hal positif saja tentang kebijakan pemerintah.
Daftar pustaka
·
Siebert,Fred S, Theodore
Peterson dan Wilbur Schramm. Empat Teori
Pers.Jakarta:Intermasa. Cet. I. 1986
K, Septiawan Santana. Jurnalisme Kontemporer.
Jakarta:Yayasan Obaor Indonesia. 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar